Pendapat Saya tentang Pembelajaran Jarak Jauh Secara Online
Pendapat Positif
Dapat mengatur waktu. Dengan pembelajaran di rumah, saya dapat fleksibel mengatur waktu, seperti kapan mengerjakan tugas sekolah, membantu orang tua, istirahat, beribadah, dan lain-lain.
Menambah wawasan dan kemampuan menggunakan berbagai aplikasi dalam proses pembelajaran. Awalnya saya tidak tahu apa itu aplikasi Zoom. Melalui pembelajaran Jarak Jauh, saya akhirnya mengetahui dan terbiasa menggunakan apikasi Zoom untuk belajar. Aplikasi ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan beberapa orang tanpa bertemu secara langsung. Senang bisa berjumpa dengan para guru dan teman-teman sekelas, misalnya saat memulai aktivitas pembelajaran dengan tadarus bersama teman sekelas yang dipimpin Pak Agus, wali kelas kami. Pemberian tugas yang menggunakan aplikasi pembuatan video pun menambah wawasan dan memotivasi saya untuk kreatif dalam mengerjakan tugas. Pembelajaran Jarak jauh menjadi lebih happy dan enjoy….
Menambah kedekatan dengan keluarga. Salah satu yang saya suka dari Pembelajaran Jarak Jauh ini adalah saya mempunyai waktu lebih banyak untuk berkumpul bersama keluarga. Biasanya Ummi dan Abi saya bekerja di luar rumah. Selama wabah Covid-19 ini, Ummi dan Abi tidak bekerja di kantor. Alhamdulillah, ada kebijakan dari kantor mereka agar pegawai bekerja dari rumah (Work from Home). Saya senang sekali karena sepanjang hari bisa bertemu mereka di rumah. Ummi mendadak jadi koki tapi teteup kerja di depan laptop. Kadang Ummi dan Abi ikutan rempongngajarin saya dan adik saya belajar. Seruuuu….!
Pendapat Negatif
Ribet. Semuanya serba online, mulai dari mempelajari modul pelajaran, latihan soal, mengumpulkan tugas, diskusi dengan teman, sampai ulangan. Walau pun sistem online memudahkan banyak pekerjaan, namun dalam proses pembelajaran, kami jadi mendapatkan tambahan pekerjaan, yaitu membuat dan mengirimkan foto, video, download materi, dan upload tugas yang telah dikerjakan. Semua itu cukup membutuhkan waktu lama dalam pengerjaannya. Memory HP saya sampai penuh.
Batas pengumpulan tugas yang terlalu cepat. Ini yang paling saya tidak suka dari kegiatan pembelajaran online. Hampir setiap hari saya mendapat tugas yang harus dikerjakan dan dikumpulkan hari itu juga. Saya sampai pusing dan stres jika masih mengerjakan tugas lalu ada lagi tugas lain yang harus dikumpulkan pada jam yang sama. Alhasil, ada tugas yang terlambat saya kumpulkan.
Alhamdulillah, kami berlangganan internet di rumah. Ini cukup membantu saya selama pembelajaran online. Saya terpikir bagaimana siswa yang tidak memiliki laptop atau HP. Begitu juga dengan siswa yang keluarganya hanya mempunyai satu HP dan dipakai untuk belajar oleh beberapa anak. Belum lagi masalah pemakaian kuota internetnya. Pasti mereka terkendala sekali dalam pengiriman beberapa tugas yang harus diselesaikan dalam satu hari itu. Mungkin perlu dipikirkan solusi agar proses pembelajaran secara online ini dapat dengan mudah dilakukan semua siswa, utamanya yang terkendala dalam ketersediaan perangkat pembelajaran online tersebut.
Alhamdulillah, sekarang ini tenggat waktu pengumpulan tugasnya lebih panjang sehingga memudahkan siswa dalam mengerjakan tugas, misalnya tenggat waktu pengumpulan selama seminggu. Di awal pembelajaran online, tugas yang harus dikumpulkan terasa banyak sekali sampai beberapa kali saya telat makan. Menurut saya, jika tugas yang diberikan terlalu banyak, hal ini dapat menimbulkan kelelahan dan stres pada siswa yang dapat menyebabkan siswa jatuh sakit karena kurang istirahat.
Walau pun belajar di rumah itu menyenangkan, tapi tidak ada yang bisa menggantikan senangnya belajar dengan bertatap muka dengan guru dan teman-teman di kelas. Itulah pendapat saya tentang pembelajaran online
1. Filosofi Bunga sebagai Tanda-Tanda Alam dari Tuhan
Tuhan Menghimbau manusia untuk memperhatikan tanda-tanda alam karena
di sana terdapat pelajaran. Bunga bisa menjadi tanda alam yang
memberikan pelajaran. Tentang bagaimana makhluk ciptaan harusnya eksis
di dunia ini. Bagaimana makhluk seharusnya bersikap menunjukkan
identitas dirinya. 2. Filosofi Bunga Mengundang Decak Kagum
Entah bagaimana kehidupan spirit dari bunga-bunga di alam semesta
ini. Apakah mereka sebenarnya bisa berbicara layaknya di negeri dongeng.
Tapi yang manusia tahu, bunga itu tidak bisa bicara. Dia hanya bisa
tumbuh cantik dan semerbak wangi aromanya yang mengundang decak kagum.
3. Filosofi Bunga Menjadi Teladan dalam Bersikap
Meskipun Bunga tidak mengatakan dirinya bunga. Walaupun bunga tidak
mengatakan dirinya cantik. Namun ia sungguh bisa dijadikan teladan bagi
makhluk ciptaan Tuhan untuk menjadi dirinya sendiri apa adanya. Kita
sering mendapati bunga yang tidak harum, bahkan baunya busuk atau pahit.
Namun para bunga yang tidak wangi ini tetap menunjukkan dirinya apa
adanya. Tidak berusaha bunuh diri karena minder atau layu karena saking
malunya.
4. Filosofi Bunga Tidak Over Akting
Intinya, bunga mengajarkan manusia untuk tidak pura-pura. Bunga tetap
harum walau nggak mengatakan dirinya bunga. Wangi Bunga tetap tercium
walau ia tak kibas-kibaskan dirinya. Begitulah seharusnya manusia
menjalani hidup. Nggak usah over akting mengatakan aku begini, aku
begitu… Kalau memang harum, pastilah tercium aromanya! Setuju? 5. Filosofi Bunga Memiliki Kemandirian
Bunga adalah rantai utama penyerbukan. Benang sari dan putiknya
adalah sumber kehidupan bagi kelangsungan diri. Penyerbukan menjadi
simbol kemandirian. Manusia harus bisa belajar mandiri pula. Tidak
merepotkan orang lain. Dan tidak membunuh orang lain hanya demi
mempertahankan kelangsungan hidup
Meski jatuh berkali-kali, hujan gak pernah menyerah.
Pernah ga gan kalian sadar
kalau hujan itu turun dan jatuh terus. Dari hal itu kita bisa belajar
bahwa hujan tetap mencoba meskipun jatuh berkali-kali. Hujan terus turun
tanpa menyerah dan itu bisa menjadi pelajaran yang bagus buat kita gan.
Kita harus selalu kuat dan tabah untuk mencapai sesuatu.
Quote: Hujan turun setelah kemarau panjang. Bukankah kesabaran adalah kuncinya?
Masih ingat dengan kemarau yang
berkepanjangan? Bagaimana kalau kemarau itu datang tanpa diselingi oleh
hujan. Bumi akan menjadi kering dan tak seindah yang kita tahu.
Beruntung bahwa hujan datang setelah kemarau panjang.
Kehidupan jadi jauh dari kesulitan dan kesengsaraan. Kita sebaiknya
dapat menjadi penolong atau paling tidak penghibur untuk orang yang
benar-benar membutuhkan kita.
Quote: Hujan bisa memberi rasa dingin.
Setelah panas seharian, hujan
turun membasahi bumi. Cuaca menjadi berubah dan hawa menjadi dingin dan
nyaman untuk beristirahat. Semoga dengan menyadari sifat hujan, kita
jadi ingat untuk tidak terus memenuhi amarah melainkan lebih bersifat
santai menghadapi sesuatu.
Quote: Hujanpun bisa marah. Kalau manusia gak bisa "Ramah".
Seperti manusia hujan yang juga
bagian dari alam bisa marah loh gan. Ketika benar-benar tidak ada lagi
yang peduli dengan lingkungan sekitar. Hujan turun dengan derasnya yang
terkadang membawa bencana. Sebaiknya kita menyadari sesuatu bahwa manusia punya amarah alangkah baiknya jika kita bisa menjaga perasaan satu sama lain.
Quote: Bau hujan itu menyenangkan. Sederhana dan menenangkan.
Ini bagian yang banyak belum disadari orang
. Saat hujan turun ke bumi dan membasahi tanah, maka aroma hujan akan
tercium. Baunya sangat menyegarkan dan itu adalah bau hujan
. Di dalam hidup, sebaiknya kita belajar untuk menjadi orang yang
menyenangkan. Semua orang pasti merasa senang dengan sifat-sifat orang
yang menyenangkan.
Quote: Hujan datang untuk menyejukkan bumi. Bermanfaat bagi material lain.
Meskipun hujan kadang tidak
datang, tetapi kedatangan hujan sangat penting. Hujan turun untuk
memberikan kesejukan bagi kehidupan manusia di bumi. Sebaiknya kita
belajar seperti hujan yang datang dan muncul untuk membawa dan berbagi
rasa senang.
Quote: Hujan turun karena tahu bumi membutuhkan.
Hujan turun disaat bumi memang benar-benar membutuhkannya.
Setelah kemarau panjang, hujan tetap akan turun untuk menghijaukan
bumi. Kita juga bisa menjadi seperti hujan yang siap membantu teman atau
keluarga yang membutuhkan bantuan kita gan.
Quote: Banyak orang mengeluh karena hujan. Tapi hujan tetap datang tiap tahunnya.
Meskipun beberapa orang yang
mengeluh karena hujan turun, hujan tetap turun. Hal ini bisa pelajaran
buat kita lho gan bahwa selama itu baik kita tidak perlu takut untuk
melakukan sesuatu. Bahkan kita sedang melakukan sesuatu yang baik untuk
orang lain. Jangan berhenti hanya karena beberapa orang tidak suka.
Quote: Hujan itu tidak kenal waktu.
Hujan turun memang tidak kenal waktu dan mengerti apa yang sedang dilakukan manusia. Hujan adalah anugerah dari yang kuasa
. Maka dari itu kita juga seharusnya dapat menerima hujan dan hal baik
datang tanpa memaksakan waktu sesuai dengan yang kita inginkan.
Asal Nama "Surabaya", Ternyata bukan Hiu dan Buaya
PADA umumnya,
masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari
untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”. Ada juga yang menyebut berasal dari kata Cura Bhaya atau Curabhaya. Penulisan
nama Surabaya pun berubah ejaannya sesuai dengan zaman pemakaiannya.
Sebelum ditulis dengan kata Surabaya sekarang ini, pernah pula ditulis:
Surabaia, Soerabaia, Seoarabaja dan Surabaja.
Ilustrasi Hiu dan Buaya | foto Jamesbondradio.com
Berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai, Sura (Suro) dan Baya (Boyo),
menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam
ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi
dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).Perlambang
kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang
warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda.
Begitu
pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, agama,
etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhayatermasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).
Surabaya di kala senja | foto Wikipedia.com
Dalam sejarah, nama Surabaya terdapat pada buku: Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun. Jenggala adalah Sidoarjo dan Buwun adalah Bawean.
Surapringga
Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Tetapi, dalam sejarah pemerintahan regent atau kebupatian (kabupaten), serta keadipatian (kepatihan) Surabaya disebut Surapringga. Dari
berbagai sumber, terungkap salah satu kepala pemerintahan yang cukup
melegenada adalah Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini
diberi kekuasaan untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan
Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus
manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.
Ikon Surabaya yang populer | foto Wikipedia.com
Suatu
keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau
sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau
Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama
Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya,
benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh.
Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14. Kemudian mengapa nama Surapringga tidak begitu popular.
Mitos Cura-bhaya
Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN. BalaiPustaka
tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai
sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari
Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”.
Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat
kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun
1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja
Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).
Surabaya
tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan
nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan
perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah
Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna
namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.
Nagarakertagama | foto sejarahnasional.org
Ditilik
dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni
tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya
emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.Hujunggaluh
atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian
menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas
(Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu
bernama Hujung galuh.
Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan.
Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang
melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung
Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah
Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang
membatasi laut dengan daratan.Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah
wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah
menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah
kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.
Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya?
Ilustrasi iring-iringan transportasi sungai dari Ujung Galuh menuju Majapahit | foto: putumahendra.com
Memang,
perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari
jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data
otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang
dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan
pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya.
Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.Bencana
alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak.
Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas
dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara.
Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada
pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya).
Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan
pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan
namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.Mitos
ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh
ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat
di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.
Bagaimanapun
juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya,
hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi
mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhayaadalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.
Jung Ya Lu dan Suyalu
Kendati
sudah diyakini bahwa Junggaluh atau Hujunggaluh atau Ujunggaluh adalah
cikal-bakal Kota Surabaya, ternyata tentang lokasinya pernah menjadi
perdebatan. Peristiwa itu terjadi waktu pembahasan penetapan perubahan
Hari Jadi Kota Surabaya pada tahun 1975.
Pembahasan mengenai lokasinya diperoleh dari beberapa pendapat. Prof.Dr.N.J.Krom, sebagai salah satu sumber misalnya menyitir nama Junggaluh dari sejarah Tiongkok. Pendapat ini diperkuat pula oleh Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.Nama Junggaluh itu disebutkan dalam ejaan Cina tertulis, kata Sugalu. Kata Sugalu itu menurut mereka harus dibaca Jung Ya Lu. Nah, dengan demikian maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.
Inilah, masalahnya. Sebab, ada pula ahli sejarah yang menerjemahkan kata Sugalu itu sebagai Sedayu, yaitu suatu nama desa di Kabupaten Gresik sekarang.Pendapat Prof Dr. Suwoyo Woyowasito lain lagi. Menurut guru besar ini, tidak menyebut Sugalu, tetapi Suyalu. Dengan dasar perkembangan bunyi, telah dapat membuktikan bahwa Suyalu adalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Junggaluh atau Hujunggaluh.Suatu
data lagi mengungkapkan, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara
Tartar yang semula mendarat di Tuban. Setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit).
Ilustrasi Trowulan, ibukota Majapahit | foto Kompas.com
Ke tiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lu tersebut tentunya melalui sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Kenyataan ini membuktikan, bahwa sungai yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan bahwa Su-ya-lu terdapat
di pantai dan muara Kali Brantas. Ini juga sesuai dengan faktor dari
sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari
buku Chu-fan-Chi-kua (1220 AD). Pada buku itu dinyatakan bahwa Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya.
Maka
dengan demikian, para anggota Panitia Khusus (Pansus) Penetapan Hari
Jadi Surabaya yang kemudian didukung oleh pleno DPRD Kota Surabaya tahun
1975 itu, sependapat bahwa: “Su-ya-lu sama
dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya dan
tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi sungai Bengawan
Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah, Gresik.”
Tidak hanya itu, fakta ini juga diperkuat lagi berdasarkan kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Mangke
wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun
cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”.Artinya:
“Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat
benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) dan para lurah desa di
wilayah Canggu sudah musnah.” – Tegal Bobot Sekar atau Tegal Bobot Sari,
sekarang menjadi Kecamatan Tegalsari di Kota Surabaya. Begitulah sedikit kisah tentang nama Surabaya yang dikaitkan dengan Junggaluh atau Hujunggaluh.